Senin, 29 Maret 2010

Sjam Kamaruzaman (tempo)

Perjalanan Preman Tuban
Pendiam tak banyak cakap, Sjam Kamaruzaman aktif berorganisasi. Main musik dan menyanyi di Yogyakarta.

RUMAH joglo berkapur putih, dengan kusen biru, itu tampak berdebu tak terawat. Beberapa pot bunga berserakan di bagian depan, sarang laba-laba bergelayutan di sudut tembok. Rumah itu memang tak lagi dihuni, cuma dijadikan gudang.

Di depannya, agak ke kanan, tegak rumah kayu model serupa yang lebih besar, bercat putih dengan kusen kuning. Menurut Ruslan—bukan nama sebenarnya—rumah kayu yang ditempatinya ini sudah berumur sekitar 125 tahun. ”Sudah ditempati empat generasi,” kata menantu Sjam Kamaruzaman itu.

Ruslan, 67 tahun, beristrikan Laksmi—sebut saja begitu—putri bungsu Sjam dari lima bersaudara, yang 23 tahun lebih muda. Pasangan ini beranak satu, setelah menikah cukup lama.

Di rumah inilah Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus Partai Komunis Indonesia, dilahirkan pada 30 April 1924. Rumah berlingkung tembok 1,5 meter dengan lahan 1.450 meter persegi itu terletak di Kampung Kutorejo, Kecamatan Kota, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Untuk ukuran kampung padat penduduk itu, rumah ini terbilang besar. Ayah Sjam, R Achmad Moebaedah, memang terbilang orang berada. Pada masa hidupnya, orang tua itu penghulu—semacam kepala pengadilan agama. Adapun ibunya, Siti Chasanah, asal Blitar, Jawa Timur, bergelar Raden Roro.

Sjam anak kelima dari sepuluh bersaudara—dua di antaranya meninggal pada masa kanak. Menurut Laksmi, berdasarkan cerita Latifah, adik Sjam yang telah wafat, Sjam dikenal sebagai anak yang sulit diatur orang tua. Ia gemar menyendiri, misalnya ke kuburan. Sebagai anak penghulu, Sjam belajar mengaji sejak kecil.

Sejak kecil Sjam mengagumi embahnya, R Prawiroredjo, yang konon punya ilmu kanuragan. Saking kagumnya, Sjam mencantumkan nama sang kakekdi belakang foto dirinya seukuran kartu pos, yang diambil pada 1950-an. Karena keuangan orang tuanya yang memadai, Sjam dan para saudaranya bisa menikmati sekolah formal waktu itu.

Di Tuban, Sjam masuk Sekolah Rakyat, lalu melanjutkan pendidikan ke Land & Tuinbouw School dan Suikerschool di Surabaya, yang terputus karena Jepang datang, pada 1942. Setahun kemudian, ia masuk Sekolah Menengah Dagang di Yogyakarta, hingga kelas dua, dan putus lagi karena pecahnya perang kemerdekaan.

Menurut berita acara pemeriksaannya, Sjam aktif mengikuti kegiatan Hizbul Wathan, organisasi kepanduan Muhammadiyah. Setelah di Surabaya, ia lebih banyak menghabiskan waktu bermain bola dan atletik. Belakangan, di Yogyakarta, ia juga main musik dan menyanyi.

Sjam mulai bersentuhan dengan dunia politik ketika bersekolah di Yogyakarta, dengan ikut perkumpulan pemuda Pathuk. Di sini ia menumpang hidup bersama kerabatnya. Menurut Suryoputro—bukan nama sebenarnya—yang saat itu bersekolah di Taman Siswa, Sjam sering ikut pertemuan gelap yang digelar gerakan perlawanan.

Biasanya, lelaki berambut keriting dan bertubuh gempal itu lebih banyak diam memperhatikan. ”Dia itu tipenya ngoho (preman), jadi tidak banyak ngomong,” kata Suryoputro. Seperti pemuda lain pada masa itu, Sjam ikut bergerilya melawan Belanda.

Menurut Suryoputro, Sjam ikut pertempuran di Mranggen, Ambarawa, dan Magelang, 1946-1947, dan sempat memimpin Laskar Tani di Yogyakarta. Pada 31 Desember 1947, bersama Sjam dan seorang rekan lain, Suryoputro berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan studi. Kelompok Pathuk bubar, dan banyak anggotanya masuk partai politik.

Di Karawang, mereka bertiga sempat ditahan Kemal Idris—ketika itu komandan batalion di Cikampek. Setelah menunggu sehari, mereka melanjutkan perjalanan. ”Sengaja menunggu karena Belanda pesta tahun baru sehingga penjagaan di Jakarta lebih kendur,” kata Suryoputro.

Di Jakarta, mereka tinggal di Jalan Bonang, tak jauh dari Tugu Proklamasi sekarang. Setelah itu, mereka pindah rumah berkali-kali. Sjam jadi pegawai Kantor Penerangan Jawa Barat, meski kantornya di Jakarta. ”Tapi tidak ada kerjanya, cuma duduk-duduk.”

Sjam bersama beberapa kawan kemudian ikut aksi gerilya malam, melempari pasukan Sekutu yang berjaga di kawasan Senen, Jakarta Pusat, dengan granat. ”Wilayah kerja malam” Sjam di seputar Jalan Kramat Raya. Entah bagaimana, Sjam juga bersentuhan dengan organisasi buruh kereta api.

Bersama rekan-rekannya, Sjam mengatur perjalanan desersi orang-orang Indonesia yang bergabung dengan tentara Belanda, Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), dan ingin ”menyeberang” ke pedalaman. Ia kemudian ikut mendirikan Serikat Buruh Mobil dan Serikat Buruh Kendaraan Bermotor.

Pada 1949, Sjam juga ikut mendirikan Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan, yang kemudian berubah nama menjadi Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran. ”Jumlah anggotanya pernah mencapai 13 ribu orang di Tanjung Priok saja,” kata Suryoputro, yang pernah memimpin organisasi itu.

Ketika terbentuk Badan Pusat Sementara Sarekat-Sarekat Buruh, yakni gabungan serikat buruh pada masa itu, Sjam dipercaya sebagai wakil ketua. Organisasi ini kemudian bubar, digantikan oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang berafiliasi ke PKI.

Sjam menjadi pengurus SOBSI hingga 1957. Pada masa itulah ia menikah dengan Enok Jutianah, perempuan Sunda aktivis buruh pelabuhan, yang meninggal setelah melahirkan anak kelima.

Menurut berita acara pemeriksaan, Sjam bertemu dengan Aidit pertama kali pada 1949. Aidit, ketika itu, dalam persembunyian di Jakarta setelah Peristiwa Madiun, 1948. Aidit kemudian menawari Sjam masuk PKI. ”Saya terima dengan baik,” kata Sjam, seperti tercantum dalam berita acara. Sejak 1957, Sjam menjadi pembantu pribadi Aidit, dan mundur dari serikat buruh.

Aidit menugasinya mengurus dokumentasi yang berhubungan dengan ideologi Marxisme-Leninisme. Tiga tahun kemudian, ia menjadi anggota Departemen Organisasi PKI, yang khusus menangani anggota dari unsur militer. Selang empat tahun, dibentuklah Biro Chusus, dengan Sjam sebagai ketua.

Menurut Suryoputro, sekitar 1949, Sjam sempat membuat skenario ”penjemputan Aidit” sepulang dari Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok. Ia diajak Sjam berboncengan sepeda. Di pelabuhan, Suryoputro kebagian tugas menjaga sepeda, sedangkan Sjam berpura-pura menjemput Aidit yang baru turun dari kapal.

Skenario penjemputan ini dibuat untuk memberikan kesan Aidit menyingkir ke Vietnam dan mempelajari Marxisme di sana, setelah Peristiwa Madiun. Selama di Tanjung Priok itu, menurut Suryoputro, dia tinggal bersama Sjam. ”Kami makan dan minum dari piring dan gelas yang sama.”

Sjam gemar mengenakan baju kaus berkerah. Pembawaannya sederhana dan dia mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi, seingat Suryoputro, Sjam paling takut sama cecak. ”Kalau saya jengkel sama dia, saya kasih cecak saja. Dia akan lari menjauh.”

Pada mata kiri atas Sjam ada bekas luka, begitu juga di belakang pahanya. ”Itu bekas luka akibat pantulan peluru ketika berlatih menembak di Yogya dulu,” kata Suryoputro.

Di mata anak-anaknya, Sjam tetap ayah yang baik. ”Kami kerap diajak makan enak di rumah makan,” kata Shinta—bukan nama sebenarnya—anak kedua Sjam, kini 53 tahun. Bagi Maksum—bukan nama asli—anak sulungnya, Sjam bahkan rada melankolis. ”Bapak pernah menangis ketika saya berkelahi dengan adik saya,” katanya. ”Waktu itu, Ibu baru saja meninggal.”


Blog Dr: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LK/mbm.20081117.LK128759.id.html

Majalah Tempo 39/XXXVII 17 November 2008


Nyanyian God Father Blok III
39/XXXVII 17 November 2008


Sjam banyak membuka informasi rahasia Biro Chusus Partai Komunis Indonesia. Dilaporkan ke Jenderal Soeharto.

PETUGAS Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat, itu tiba-tiba mencabut televisi hitam-putih. Benda hiburan penting para tahanan tersebut diangkut. Mereka juga memelontosi penghuni sel. Semua gara-gara para pendatang baru: rombongan mahasiswa yang dijebloskan setelah peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974 atau dikenal dengan Peristiwa Malari.

Mahasiswa-mahasiswa itu dinyatakan bersalah karena mengalahkan para sipir penjara dalam pertandingan badminton. Pada pertengahan 1970-an itu, tahanan politik Partai Komunis Indonesia penghuni tahanan biasa mengalah kepada sipir. ”Para penjaga marah. Tahanan PKI menyalahkan kami,” tutur Yopie Lasut, tahanan Malari yang bebas akhir 1975.

Di tengah ketegangan, menurut Yopie, seorang pria datang melerai. ”Ini bagus buat menyadarkan kita bahwa kita ada di Rumah Tahanan Militer, bukan di surga. Masak cuma soal TV, kita harus memusuhi mahasiswa.” Yopie mengenal pria itu adalah Sjam Kamaruzaman, tokoh PKI yang menghuni rumah tahanan sejak 1967.

Yopie menghuni blok III tahanan, bersama dua rekannya, Salim Hutajulu dan John Pangemanan. Ada 30-an tahanan di blok itu, termasuk Sjam dan Soejono Pradigdo, Ketua Komite Daerah Besar Jakarta Raya. Soejono adalah teman sekamar dan ”asisten” Sjam. Aktivis Malari, Marsillam Simandjuntak, Hariman Siregar, Syahrir, dan Rahman Tolleng, menghuni blok lain.

Salim melihat Sjam mirip ”god father” dan ”penguasa yang disegani bahkan ditakuti para tahanan”. Tahanan sipil ataupun militer, ia mengatakan, sering kali minta nasihat dan perlindungan kepada Sjam. Forum ”konsultasi” itu biasanya digelar saat bermain gaple di kamar Sjam.

Sjam juga diperlakukan istimewa. Meski ditahan, dia bisa keluyuran keluar-masuk sel. Berbeda dengan tahanan lain yang ketakutan kalau dipanggil petugas, Sjam justru santai dan bisa senyum-senyum. ”Yang lain takut karena kalau dipanggil, pasti disiksa,” kata Salim.

Menurut cerita Oei Tjoe Tat dalam memoarnya, Sjam terkadang ”dilepas” berkeliaran di halaman tahanan untuk mengenali para tahanan yang lain. Siapa tahu mereka salah satu dari tentara ”binaan”-nya. Tak mengherankan jika tahanan lain tidak tenteram karena nasib mereka bisa ditentukan oleh ”nyanyian” Sjam.

Salim menguatkan cerita itu. Mungkin karena takutnya, ”Semua datang, kulo nuwun. Kalau Sjam nyebut-nyebut (nama), orang kan jadi susah.” Ia juga mengenang, Sjam punya hobi bercocok tanam. Bersama beberapa temannya, ia menyulap halaman rumah tahanan menjadi kebun sayur dan pepaya.

Menurut Salim, di antara tahanan Rumah Tahanan Militer Budi Utomo dikenal adanya orang-orang yang ”dipelihara” jaksa. Mereka diminta mencari informasi tahanan lainnya. Bahkan ada orang PKI diberi fasili-tas untuk menjadi informan. Orang-orang itu ikut menginterogasi teman-teman mereka. ”Mungkin Sjam juga dipakai. Tapi saya yakin dia pintar mengambil manfaat untuk kepentingan sendiri,” kata Salim.

Pada 1982 Rumah Tahanan Militer Budi Utomo dibongkar. Sjam dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta Timur. Ia pun dijauhi tahanan lain, terutama tahanan politik ”non-Biro Chusus”. Mereka menganggap Sjam terlalu banyak membocorkan adanya perwira-perwira di dalam militer, kata Hamim, anggota Biro Chusus, kepada Tempo. Sjam hanya bisa akrab dengan sesama eks Biro Chusus, seperti Hamim, Pono, dan Bono. Ada pula kawan lamanya di Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, Munir.

Kolonel Sugondo, perwira Team Pemeriksa Pusat interogator Sjam—dalam wawancaranya dengan wartawan senior Atmadji Sumarkidjo, mengakui adanya perlakuan khusus itu. Sjam adalah kunci yang membuka misteri Biro Chusus—sesuatu yang menghubungkan organ resmi PKI dengan Untung, Komandan Pasukan Cakrabirawa yang berperan penting pada Gerakan 30 September.

Sjam juga ”menggigit” sejumlah tentara binaan Biro Chusus. Misalnya, ia menyebut nama Sumbodo di Jawa Timur; Herman, Diro, Usman di Jawa Tengah; Saplin dan Gani di Jawa Barat; serta Suganda dan Sidik di Jakarta. ”Tentang pangkat orang-orang tersebut, saya tidak ingat lagi,” kata Sjam dalam berita acara pemeriksaan.

Nama Sidik belakangan diketahui sebagai Kolonel Muhammad Sidik Kardi, seorang penuntut untuk Mahkamah Militer Luar Biasa. Ia ditangkap beberapa pekan kemudian, pada Agustus 1967, setelah kesaksian Sjam. Sidik dipenjara 12 tahun.

Menurut Sugondo, pendekatan khusus kepada Sjam dilakukan secara intensif. Ia diperlakukan dengan baik. Soalnya, selama pemeriksaan awal sejak tertangkap pada Maret 1967, Sjam melakukan aksi tutup mulut. Kebiasaan interogator memeriksa dengan kekerasan tidak mempan membuka mulutnya.

Menurut Maksum, anak pertama Sjam yang nama aslinya tak ingin disebutkan, ayahnya punya ilmu kebal. ”Saat ditangkap dan diinterogasi, Kopassus memaksa Bapak mengaku dengan kekerasan fisik. Malah mereka mental. Sejak itu, tidak ada lagi yang mencobanya,” katanya.

Sugondo berhasil mendapat banyak informasi dari Sjam dengan pendekatan personal. Ia datang tidak sebagai interogator. Obrolan santai juga sering dilakukan di kantor Sugondo. Setiap hari Sjam hanya diajak ngobrol, berdiskusi tentang berbagai hal, ditemani kopi dan roti atau pisang goreng.

Sjam pada awalnya jaga jarak, hanya bicara terbatas. Dalam obrolan santai itu, Sugondo membiarkan Sjam bicara dan menyampaikan pikirannya tanpa diinterupsi. Sugondo juga tidak pernah mencatat agar Sjam tidak mengerem omongan. Ia mengandalkan ingatan. Setelah sampai di rumah, barulah Sugondo menuliskan semua yang diperoleh dari Sjam.

Hasil laporan Sugondo digunakan Tim Pemeriksa Pusat sebagai data intelijen. Data ini dilaporkan kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto sekaligus disusun menjadi berita acara pemeriksaan untuk penuntutan di Mahkamah Militer Luar Biasa. Nyanyian Sjam menyapu habis PKI.
Blog Dr:

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LK/mbm.20081117.LK128757.id.html

Lelaki dengan Lima Alias
39/XXXVII 17 November 2008


Sjam Kamaruzaman disebut-sebut sebagai tokoh paling misterius dalam Gerakan 30 September 1965. Arogan dan kelewat percaya diri, ia lumat bersama gerakan yang ia rencanakan sendiri.

PANGKALAN Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis, 30 September 1965, tengah malam. Tiga jam lagi, operasi penculikan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat akan dimulai. Ketegangan menggantung di udara. Beberapa lelaki tampak bergegas masuk gedung Pemetaan Nasional, Divisi Pengamat Udara TNI Angkatan Udara, tak jauh dari sudut barat laut Halim.

Lima pemimpin operasi penculikan menggelar rapat persiapan terakhir. Sjam Kamaruzaman (Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia), Supono Marsudidjojo (Asisten Sjam di Biro Chusus), Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim) duduk mengitari meja rapat. Wajah mereka letih. Seharusnya operasi penculikan sudah bergerak pukul 11 malam. Rencana terpaksa diubah karena tim inti terlambat berkumpul.

Sjam membuka rapat. Duduknya sembarangan, satu kakinya diangkat. Di bibirnya, sebatang rokok terselip, mengepulkan asap. Saat itu, laporan dari pasukan-pasukan di daerah sudah masuk. Banyak yang belum siap bergerak ke Jakarta. Ketegangan makin memuncak.

Tak jauh dari sana, di Lubang Buaya, pasukan G30S sudah bersiaga. Namun, rantai komando tujuh regu penculik belum disepakati. Pembagian sasaran juga kacau. Dua tim penculik yang sebagian besar beranggotakan Pemuda Rakyat—organisasi pemuda sayap PKI—yang baru belajar menembak, malah diserahi tugas mengambil target kakap: Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution dan Panglima TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani. Target ditukar lagi dengan tergesa-gesa.

Brigadir Jenderal Supardjo, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga yang tiga hari sebelumnya baru tiba dari Kalimantan untuk bergabung dengan tim pemimpin, malam itu masygul melihat buruknya persiapan. Apalagi, ”Ternyata, setelah diteliti, kekuatan positif di pihak kita hanya satu kompi Cakrabirawa.”

Keraguan mulai menjalar. Melihat tanda tanya di mata para peserta rapat, Sjam menghardik keras, ”Ya, Bung. Kalau mau revolusi, banyak yang mundur. Tapi kalau sudah menang, banyak yang mau ikut.” Sjam berkeras, kekurangan apa pun tak bisa membatalkan rencana. ”Apa boleh buat. Kita tidak bisa mundur lagi,” katanya pendek. Rapat ditutup. Pukul 03.15, tim penculik bergerak.
l l l

Inisiatif operasi penculikan dini hari itu datang dari Ketua Umum Comite Central PKI, Dipa Nusantara Aidit. Pada awal Agustus 1965, sepulang dari kunjungannya ke Cina, Aidit menghubungi tangan kanannya, Sjam Kamaruzaman.

Dari penuturan Sjam, terkesan Aidit galau. Dia mengaku pulang mendadak ke Indonesia setelah mendengar Soekarno jatuh sakit. ”Kalau sakitnya terulang, Presiden bisa meninggal dunia,” katanya. Aidit khawatir kematian Soekarno dimanfaatkan pimpinan TNI Angkatan Darat untuk merebut Istana dan menyingkirkan PKI.

”PKI sekarang harus memilih: didahului atau mendahului,” kata Aidit. Dan malam itu, sang ketua tampaknya sudah memutuskan. Sjam diminta segera memeriksa barisan Biro Chusus, dan membuat konsep ”untuk mengadakan suatu gerakan yang bersifat terbatas”.

Sjam bergerak cepat. Dua hari setelah bertemu dengan Aidit, dia mengumpulkan dua asistennya, Pono dan Bono, di rumahnya di Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Tiga perwira menengah TNI menjadi kandidat utama pelaksana ”operasi terbatas” Aidit. Mereka adalah Kolonel Abdul Latief, Letkol Untung, dan Mayor Soejono.

”Ketiganya anggota PKI,” kata Sjam memastikan. Pernyataan ini ada di berita acara pemeriksaan Sjam oleh Polisi Militer. ”Karena ini tugas partai, tenaga pelaksana pokoknya harus berasal dari anggota partai,” katanya lagi.

Sjam juga mengirim telegram ke semua jaringan Biro Chusus di daerah. Begitu rencana aksi terbatas sukses, mereka harus menguasai jawatan penting di daerah, dan mengajak pejabat setempat mendukung Dewan Revolusi. Dengan cara itu diharapkan sebuah aksi ”kecil” di Jakarta bisa memicu gerakan massa yang meluas di seluruh Nusantara.

Rapat persiapan dilakukan sampai sepuluh kali. Lokasinya berganti-ganti: rumah Sjam, Kolonel Latief, atau kediaman Kapten Wahyudi. Sasaran operasi terbatas PKI baru ditentukan pada 26 September 1965. Tim pelaksana menentukan ada 10 tokoh antikomunis yang harus ”diamankan”. Selain tujuh nama jenderal TNI Angkatan Darat yang sudah umum diketahui, Sjam mengusulkan penculikan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, dan Jenderal Soekendro. Aidit yang mencoret tiga nama terakhir.
l l l

Sehari-hari, di mata keluarganya, Sjam jauh dari kesan misterius. Dia cepat akrab dengan orang. Pembawaannya tenang. ”Tapi, kalau sudah bicara, bisa terus saja tanpa berhenti,” kata putra sulung Sjam, Maksum—bukan nama sebenarnya. Pada saat G30S terjadi, Sjam berusia 41 tahun.

Empat dari lima anak Sjam yang ditemui Tempo punya kenangan yang sama tentang ayah mereka. ”Kami amat dekat satu sama lain,” kata Maksum, kini 54 tahun. Dia ingat, sering diajak ayahnya menonton pertandingan sepak bola. ”Kami sekeluarga juga sering bertamasya melihat matahari tenggelam di Pantai Sampur, dekat Cilincing, Jakarta Utara,” kata Maksum.

Di rumah, Sjam ringan tangan. ”Setiap pagi, Bapak sibuk memperbaiki ini dan itu di rumah, entah pompa air, entah apa lagi,” tutur Maksum, yang sempat bersekolah di sebuah pesantren di Jawa Timur. Setelah semua beres, Sjam biasanya duduk santai sambil merokok. Merek rokok favoritnya Commodore.

Kepada anak-anaknya, Sjam mengaku menjadi pengusaha. ”Kami tidak tahu dia orang partai,” kata Kelana—bukan nama sebenarnya—anak kedua Sjam, kini 47 tahun. Dia sempat bingung ketika diajak ayahnya bertandang ke rumah Pono, asisten Sjam di Biro Chusus PKI. ”Di sana, anak-anak Pono memanggil Bapak ’Oom Djimin’. Saya heran, kok Bapak dipanggil Djimin,” katanya. Namun rasa heran itu dia simpan dalam hati.

Polisi Militer mencatat setidaknya ada lima nama alias Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali Mochtar, Ali Sastra, dan Karman. Ketika menulis surat perpisahan untuk adiknya, Latifah, setahun sebelum dieksekusi pada 1986, Sjam menandatangani surat itu dengan nama Rusman.

Pada saat PKI merayakan hari jadinya secara besar-besaran di Istora Senayan, Mei 1965, Sjam hanya menonton parade partai yang dicintainya dari kejauhan. ”Bapak bawa teropong sendiri untuk melihat Bung Karno berpidato,” kata Maksum mengenang.

Keluarga Sjam berasal dari Tuban, Jawa Timur. Ayahnya seorang khatib di dinas jawatan agama setempat. Dia anak kedua dari delapan bersaudara. Sejak muda, Sjam sudah bersimpati pada gerakan kiri, bergaul rapat dengan kelompok pemuda Pathuk yang rata-rata beraliran sosialis di Yogyakarta, serta aktif dalam perang melawan Belanda dan Jepang.

Hubungan Aidit dan Sjam punya sejarah panjang. Keduanya sudah saling kenal sejak 1949, tatkala Sjam aktif di Serikat Buruh Kapal Pelabuhan di Tanjung Priok, Jakarta. Keluarga keduanya juga dekat. Maksum ingat keluarga mereka pernah berlibur bareng di rumah peristirahatan Aidit di Cisarua, Jawa Barat. ”Waktu itu Pak Abdullah, ayah Aidit, juga ikut,” katanya ketika berkunjung ke kantor Tempo, akhir Oktober lalu.

Meninggalnya istri Sjam, Enok Jutianah, pada 1963 akibat tifus berkepanjangan, membuat Aidit makin percaya pada loyalitas Sjam. Enok, perempuan Sunda aktivis buruh di Pelabuhan Tanjung Priok dan pengurus Barisan Tani Indonesia, meninggalkan semua kegiatannya untuk menunjang penyamaran Sjam sebagai intel PKI.

”Dia tidak puas, ’Masak saya jadi aktivis revolusioner kok begini? Di rumah saja. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Menulis saja tidak boleh.’ Makanya dia berontak, sampai meninggal karena sakit,” kata seorang petinggi PKI menjelaskan kepada Enok. Keterangan ini dikutip John Roosa, sejarawan Universitas British Colombia, Kanada, dalam buku Dalih Pembunuhan Massal. Menurut Maksum, ibunya sempat diam-diam menulis laporan perjalanan wisata di majalah wanita, tapi dengan nama samaran.

Karena itulah, Aidit amat percaya pada Sjam. Namun dia tidak tahu, laporan Sjam kerap tidak akurat. Para perwira siap melaksanakan rencana, karena mengira Aidit menghendaki rencana itu berlanjut. Adapun Aidit berketetapan meneruskan rencana karena mengira para perwira telah siap. Dengan tidak terbuka pada kedua pihak, Sjam sang perantara memindahkan nasib G30S ke tangannya sendiri. Dia menahbiskan dirinya menjadi tokoh pusat gerakan itu.
l l l

LUBANG Buaya, 1 Oktober 1965, pukul 05.30. Tim penculik Pasopati kembali ke markas dengan kabar buruk. Tiga jenderal tewas tertembak, termasuk sasaran utama, Ahmad Yani. Target kakap lainnya, Nasution, lolos. ”Kami semua terdiam,” kata Sjam.

Semula Aidit bermaksud membawa para jenderal ke hadapan Presiden Soekarno hidup-hidup dan meminta mereka membatalkan rencana kup Dewan Jenderal. Sekarang, rencana itu gagal.

Sejak itu, seperti rumah kartu, operasi Biro Chusus PKI perlahan-lahan runtuh. Satu batalion Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara, yang direncanakan datang, tak pernah muncul. Pasukan tank dan panser yang diharapkan datang dari Bandung pun tak pernah ada.

Di tengah serangan balik kubu TNI, pukulan terakhir datang dari Presiden Soekarno. Kepada Brigjen Supardjo yang menemuinya di Halim, Jumat siang 1 Oktober, Bung Besar itu memberikan perintah tegas, ”Jangan lanjutkan pertumpahan darah.” Moral mereka langsung jatuh.

Tepat pukul 7 malam, suara bariton Panglima Kostrad Mayjen Soeharto mengudara. ”Gerakan 30 September adalah kontrarevolusioner,” katanya. Ketika itulah Sjam sadar, mereka sudah kalah.

Pada 2 Oktober pukul 1 siang, sehari setelah operasi dipastikan gagal, Sjam meninggalkan Halim dan pulang ke rumahnya di Jalan Pramuka Jati, Jakarta Pusat. Sepekan kemudian, tanpa pamit kepada anak-anaknya, dia lari ke Bandung.

Dibutuhkan satu setengah tahun bagi tentara untuk menemukan Sjam kembali. Pada 9 Maret 1967, ketika bersembunyi di Cimahi, Jawa Barat, di rumah Letnan Dua Suparman, tentara yang bersimpati pada PKI, ia ditangkap. Setelah itu, aparat menguras informasi dari Sjam tentang G30S dan Partai Komunis Indonesia. Sjam, yang semula mengesankan dirinya pejuang komunisme yang kukuh, di penjara menjadi ”lunglai”. Ia dimusuhi bahkan oleh tahanan politik PKI sendiri karena dinilai terlalu mudah ”bernyanyi” kepada penyidik. Sembilan belas tahun dipelihara sebagai ”pembocor”, riwayat Sjam tamat di ujung bedil. September 1986, ia dieksekusi mati.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2008/11/17/LK/mbm.20081117.LK128753.id.html